Garis waktu kasus tuduhan korupsi Soeharto
Setelah Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri. Berikut adalah garis waktu kasus dugaan korupsi Soeharto:
Dugaan Korupsi Soeharto – 1974
16 Mei 1974 Presiden Suharto mendirikan Yayasan Supersemar dengan 11 anggota (Ketua : Soeharto, Wakil Ketua I : Dr. Soedjarwo, Wakil Ketua II : Drs. Moerdiono, Sekretaris : Arjodarmoko, Wakil Sekretaris : Prabowo Subianto, Bendahara : H. Ali Affandi, Wakil Bendahara : Pratikto Singgih, S.E., Anggota : Sudharmono S.H., Ali Said S.H., Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ir. Toyib Hadiwijaya).
Tujuan yayasan bermaksud untuk membantu atau membina siswa dan mahasiswa yang cakap dan berbakat, yang kurang mampu membiayai kelangsungan studinya. Yayasan bertujuan membantu Pemerintah di dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dugaan Korupsi Soeharto – 1976
Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 yang menentukan 50% dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto mundur/lengser, mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.
Dugaan Korupsi Soeharto – 1998
1 September 1998
Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, dari anggaran dasar lembaga tersebut.
6 September 1998
Soeharto mengumumkan kekayaannya melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). “Saya tidak punya uang satu sen pun…,” kata Soeharto. Dalam wawancara dengan TPI, Soeharto menyatakan tak memiliki kekayaan seperti pernah dilansir media massa.
9 September 1998
Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden Habibie serta Menteri Pertahanan dan Keamanan agar memberikan perhatian ekstra ketat dan melindungi Soeharto dari penghinaan, cercaan, dan hujatan.
11 September 1998
Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening Soeharto di luar negeri.
15 September 1998
Jaksa Agung Andi M. Ghalib ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto.
21 September 1998
Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana untuk mengklarifikasi kekayaan Soeharto.
25 September 1998
Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa untuk mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.
29 September 1998
Kejagung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto dipimpin Jampidsus Antonius Sujata.
13 Oktober 1998
Badan Pertanahan Nasional mengumumkan tanah Keluarga Cendana tersebar di 10 provinsi di Indonesia.
22 Oktober 1998
Andi M Ghalib menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.
22 Oktober 1998 Tim Kejaksaan menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan yang dikelola Suharto.
28 Oktober 1998: Tim Pusat Intelijen Kejaksaan Agung memeriksa data tanah peternakan Tapos milik Soeharto.
21 November 1998
Presiden Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen mengusut harta Soeharto. Tapi, usulan ini kandas.
22 November 1998
Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie, isinya tentang penyerahan tujuh yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah.
2 Desember 1998
Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto.
5 Desember 1998
Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.
7 Desember 1998
Di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan: Yayasan Dharmais,Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar,Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Mandiri, Yayasan Gotong Royong, dan Yayasan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun.
Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.
9 Desember 1998
Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung menyangkut dugaan penyalahgunaan dana sejumlah yayasan, program Mobil Nasional (mobnas), kekayaan di luar negeri, perkebunan dan peternakan Tapos.
Soeharto diperiksa oleh Tim 13 Kejaksaan Agung diketuai JAM. Pidsus Antonius Sujata selama 4 jam di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan alasan keamanan Soeharto, tempat pemeriksaan tidak jadi dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung.
28 Desember 1998
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin mengungkapkan, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum atau perusahaan menguasai 204.983 hektare tanah bersertifikat hak guna bangunan (HGB) dan hak milik (HM).
30 Desember 1998
Mantan Wakil Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, seusai dimintai keterangan di Kejaksaan Agung, menyatakan pembuatan Keppres dan Inpres tentang proyek mobil nasional Timor adalah perintah langsung dari mantan presiden Soeharto.
Dugaan Korupsi Soeharto – 1999
12 Januari 1999
Tim 13 Kejaksaan Agung mengungkapkan, mereka menemukan indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto.
4 Februari 1999
Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto, sebagai bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto.
9 Februari 1999
Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,7 triliun.
Jaksa Agung Andi M. Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI yang menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri. Laporan dari Belanda menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk, Belanda yang dibangun atas sumbangan Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Kastorius Sinaga, anggota Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita), meragukan laporan Jaksa Agung itu.
11 Maret 1999
Soeharto, melalui kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan KKN.
13 Maret 1999
Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.
16 Maret 1999
Koran The Independent, London, memberitakan Keluarga Cendana menjual properti di London senilai 11 juta poundsterling (setara Rp 165 miliar).
26 Mei 1999
JAM Pidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto dimutasikan.
27 Mei 1999
Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan Austria) .
28 Mei 1999
Soeharto mengulangi pernyataannya, bahwa dia tidak punya uang sesen pun.
30 Mei 1999
Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya.
11 Juni 1999
Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa pihaknya tidak menemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.
9 Juli 1999
Tiga kroni Soeharto yaitu Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis diperiksa Kejagung dalam kasus yayasan yang dikelola Soeharto.
19 Juli 1999
Soeharto terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.
11 Oktober 1999
Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah.
6 Desember 1999
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto.
6 Desember 1999
Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman mencabut SP3 Soeharto.
29 Desember 1999
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan Soeharto atas pencabutan SP3.
Dugaan Korupsi Soeharto – 2000
14 Februari 2000
Kejagung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tetapi tidak hadir dengan alasan sakit.
16 Februari 2000
Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan Soeharto.
31 Maret 2000
Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya.
3 April 2000
Tim Pemeriksa Kejagung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Baru diajukan dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik.
13 April 2000
Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota.
29 Mei 2000
Soeharto dikenakan tahanan rumah.
7 Juli 2000
Kejagung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto.
14 Juli 2000
Pemeriksaan Soeharto dinyatakan cukup dengan meminta keterangan 140 saksi dan siap diberkas Tim Kejagung.
15 Juli 2000
Kejagung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.
3 Agustus 2000
Soeharto resmi sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta.
8 Agustus 2000
Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke PN Jakarta Selatan.
22 Agustus 2000
Menkumdang Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Soeharto dilakukan di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan.
23 Agustus 2000
PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan HM Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.
31 Agustus 2000
Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Soeharto.
14 September 2000
Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit.
23 September 2000
Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan saraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi. Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di persidangan.
28 September 2000
Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.
Dugaan Korupsi Soeharto – 2006
11 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Soeharto melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
5 Juni 2006, Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas), Asosiasi Penasihat Hukum dan HAM (APHI) dan Komite Tanpa Nama, mengajukan gugatan pra-peradilan atas dikeluarkannya Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Soeharto.
12 Juni 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan SKP3 Soeharto dan menyatakan bahwa tuntutan dugaan korupsi atas Soeharto harus dilanjutkan
1 Agustus 2006, Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan SKP3 Soeharto adalah sah menurut hukum.
Dugaan Korupsi Soeharto – 2007
9 Juli 2007, Kejaksaan Agung mendaftarkan gugatan terhadap Soeharto, Pembina Yayasan Supersemar dan Yayasan Supersemar sebagai badan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pak Harto dan Yayasan dituduh menyalahgunakan uang Yayasan senilai US$420 juta dan Rp. 185 miliar ditambah ganti rugi immateriil RP. 10 triliun.
9 Agustus 2007, sidang perdata kasus Soeharto kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kejagung melakukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan perbuatan melawan hukum. Kejagung menuntut ganti rugi materiil sebesar 420 juta US$ dan Rp 185 miliar serta immateriil sebesar Rp 10 triliun.
30 Agustus 2007, majelis hakim kasasi Mahkamah Agung memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah Time Asia. Pihak Time diharuskan membayar ganti rugi sebesar Rp 1 triliun dan meminta maaf kepada publik.
10 September 2007, Proses mediasi antara kedua belah pihak dinyataan gagal.
24 September 2007, Sidang perdana perkara Supersemar di PN Jaksel. Jaksa pengacara negara resmi menggugat Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II) sebesar US$420 juta, Rp. 185 miliar, dan Rp 10 triliun (ganti rugi immateriil).
Dugaan Korupsi Soeharto – 2008
4 Januari 2008 Soeharto kembali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.
8 Januari 2008, Dua pengurus Yayasan Supersemar memberikan kesaksian di PN Jaksel. Mereka menyatakan tak rela negara mengggugat Yayasan.
26 Februari 2008, Lima anak Soeharto kecuali Hutomo Mandala Putra resmi menggantikan ayahnya sebagai tergugat perkara Supersemar.
27 Januari 2008, Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, dalam usia 87 setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
27 Maret 2008, PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar bersalah karena menyalahkan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan Hakim menetapkan Yayasan harus membayar US$105 juta dan 46 miliar pengacara Yayasan Supersemar Juan Felix Tampubolon langsung menyatakan akan mengajukan banding.
27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum.
2 April 2008, Yayasan mengajukan banding.
17 September 2008, Berkas banding diterima panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Dugaan Korupsi Soeharto – 2009
19 Februari 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara memberi pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009.
Dugaan Korupsi Soeharto – 2010
28 Oktober 2010, Vonis ini lalu dikuatkan di tingkat kasasi. Majelis kasasi menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada Penggugat 75 persen x USD 420 juta atau sama dengan USD 315 juta dan 75 persen x Rp 185.918.904 = Rp 139.229.178 (sebelumnya tertulis USD 420 ribu, demikian sebagai ralat). Namun ternyata putusan kasasi itu salah ketik, seharusnya tertulis Rp 185 miliar, tetapi tertulis Rp 185.918.904. Duduk dalam majelis kasasi yang diketok pada 28 Oktober 2010 ini yaitu hakim agung Dr Harifin Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto.
2013
September 2013, Kesalahan ketik ini lalu membuat geger karena putusan tidak dapat dieksekusi. Alhasil, jaksa lalu mengakukan peninjauan kembali pada September 2013. Ternyata, di saat yang bersamaan, Yayasan Supersemar juga ikut melakukan (PK).
Dugaan Korupsi Soeharto – 2015
8 Juli 2015, Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial hakim agung Suwardi dengan anggota majelis Soltony Mohdally dan Mahdi Soroinda Nasution memvonis Yayasan Supersemar, diketok pada 8 Juli 2015.
10 Agustus 2015, Proses hukum selanjutnya dari MA melansir berita dalam web resminya, “Mengabulkan PK I (Negara Repubilk Indonesia), menolak PK II (Yayasan Supersemar).” Berdasarkan kurs hari ini, Senin (10/8), maka yayasan harus memberikan ganti rugi ke negara Rp 4.309.200.000.000 plus Rp 139 miliar sehingga totalnya menjadi Rp 4,448 triliun.
Catatan dana Yayasan Supersemar yang diselewengkan
11 Anggota Yayasan Supersemar (Ketua: Soeharto, Wakil Ketua I : Dr. Soedjarwo, Wakil Ketua II : Drs. Moerdiono, Sekretaris : Arjodarmoko, Wakil Sekretaris : Prabowo Subianto, Bendahara : H. Ali Affandi, Wakil Bendahara : Pratikto Singgih, S.E., Anggota : Sudharmono S.H., Ali Said S.H., Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ir. Toyib Hadiwijaya).
Bank Duta, US$420juta.
Diberikan pada 22 September 1990 sebesar US$125juta.
Diberikan pada 25 September 1990 sebesar US$19,59juta.
Diberikan pada 26 September 1990 sebesar US$275,04juta.
PT Sempati Air, Rp.13 miliar.
Diberikan pada 23 September 1989 hingga 17 November 1998.
PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti, 150 miliar.
Diberikan pada 13 November 1995.
PT Kahold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep.
Hutan tanaman industri 12 miliar.
Diberikan pada Desember 1982 hingga Mei Mei 1993.
Kelompok Usaha Kosgoro, 10 miliar.
Diberikan pada 28 Desember 1993.
Surat Keputusan Penghentian Penuntutan
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) perkara mantan Presiden Soeharto.
Isi dari SKP3 adalah menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006.
12 Juni 2006, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan Soeharto yang diajukan oleh berbagai organisasi. Dalam sidang putusan praperadilan, hakim Andi Samsan Nganro menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama terdakwa HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006 adalah tidak sah menurut hukum, dan menyatakan tuntutan terhadap HM Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan
Bacaan Lainnya
- Sejarah Nusantara: Kronologi Dari Zaman Prasejarah Sampai Sekarang
- Jakarta Ibu Kota Indonesia – Lahir Pada Tanggal 22 Juni 1527
- Sadisnya Tragedi Kerusuhan Rasial Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia – Mei 1998
- Tragedi Ratu Inggris Anne Boleyn Dihukum Mati Karena Berselingkuh – Apakah dia bersalah?
- 7 Dosa Pokok: Kesombongan, Ketamakan, Iri hati, Kemarahan, Hawa nafsu, Kerakusan, Kemalasan (seven deadly sins)
Sumber bacaan: Slate, Independent, The Guardian, The New York Times, Aljazeera, Wikipedia, Republika
Pinter Pandai “Bersama-Sama Berbagi Ilmu”
Quiz | Matematika | IPA | Geografi & Sejarah | Info Unik | Lainnya | Business & Marketing