Sejarah Jenderal Sudirman
Jenderal Sudirman (Soedirman) lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun, adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Beliau lahir di Purbalingga, pada masa Hindia Belanda. Pada 12 November 1945, dalam sebuah konferensi antar panglima-panglima divisi militer di Yogyakarta seorang mantan guru sekolah berumur 30 tahun bernama Sudirman terpilih menjadi panglima Tentara Keamanan Rakyat, bergelar “Panglima Besar”.
Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Baca juga: Supersemar – Surat Perintah 11 Maret – Kontroversi “Lho ini kan perpindahan kekuasaan”
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno.
Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut.
Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa.
Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama 3 tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia.
Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Pada saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan.
Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Meninggalnya Jenderal Sudirman
Meninggalnya Soedirman pada tanggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun, menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman.
Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer.
Soedirman ditampilkan dalam uang kertas Rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Karier militer Jenderal Sudirman
– PETA Angkatan II Bogor
– Daidanco Kroya, Banyumas, Jawa Tengah
– Ketua Badan Keamanan Rakyat Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah
– Pangkat Letkol, Komandan Resimen I Divisi I Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
– Pangkat Kolonel, Komandan Divisi V TKR Banyumas, Jawa Tengah ? Pangkat Jenderal Panglima Tertinggi TKR (12 November 1945)
– Pangkat Jenderal Panglima Besar TKR (18 Desember 1945)
– Pangkat Jenderal Panglima Besar TRI (25 Mei 1946)
– Pangkat Jenderal Panglima Besar TNI
Apa yang bisa kita teladani dari perjuangan Jenderal Sudirman?
Perang gerilya merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang terjadi sebagai respon atas Belanda yang melancarkan Agresi Militer kedua.
Pada saat itu, Belanda menyerang kota Yogyakarta yang menjadi ibu kota Indonesia. Tokoh yang menjadi pemimpin perang gerilya ini adalah Jenderal Sudirman.
Setelah melakukan perang gerilya selama berbulan-bulan, puncak perang gerilya itu adalah dilancarkannya Serangan Umum 1 Maret 1949.
Baca juga ? Sejarah Nusantara – Kronologi Dari Zaman Prasejarah Sampai Sekarang
Yang bisa kita teladani dari perjuangan Jenderal Sudirman adalah:
Sikap teguh yang tidak rela bangsa dan negaranya dijajah bangsa lain. Semangat patriotisme Jenderal Sudirman pada bangsa dan negara Indonesia yang besar. Jiwa nasionalis atau cinta tanah air yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Rela berjuang demi bangsa dan negaranya sebab ingin berdaulat penuh. Semangat berkorban demi kemerdekaan Republik Indonesia. Tak pantang menyerah meski dengan senjata seadanya. Meski sedang sakit, Jenderal Sudirman tetap mampu berjuang untuk kemerdekaan Indonesia hingga akhirnya dikenal sebagai pahlawan bangsa. Bersatu dan bergabung dengan rakyat demi mewujudkan kemerdekaan RI.
Bagaimana strategi perang Jenderal Sudirman ketika melawan Belanda?
Strateginya adalah dengan melakukan perang gerilya. Ia bersama pasukannya bergerak secara sembunyi-sembunyi di hutan dari satu tempat ke tempat lain. Ketika memiliki kesempatan menyerang, Jenderal Sudirman dan pasukannya akan menyerang pasukan Belanda secara tiba-tiba.
Perang gerilya adalah perang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, berpindah-pindah dan penuh kecepatan. Gerilya merupakan salah satu strategi perang dalam perjuangan para pejuang dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Perang gerilnya dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Perang gerilya terjadi di Yogyakarta saat Agresi Militer Belanda II pada 1948.
Baca juga: Taktik Perang dan Contohnya – Konsep, Jenis (Darat, Laut, Udara)
Taktik perang gerilya Jenderal Sudirman
Taktik perang Selama gerilya Jenderal Soedirman dan pasukan berjalan untuk berpindah-pindah tempat. Mereka berjalan cukup jauh dengan menyeberangi sungai, gunung, lembah, dan hutan. Para pejuang juga melakukan penyerangan ke pos-pos yang dijaga Belanda atau saat konvoi. Gerilya yang dilakukan pasukan Indonesia merupakan strategi perang untuk memecah konsentrasi pasukan Belanda.
Kondisi itu membuat pasukan Belanda kewalahan. Apalagi penyerangan dilakukan secara tiba-tiba dan secara cepat. Pasukan Indonesia juga berani masuk ke kota untuk menyerang dan menguasai kembali Yogyakarta dari penguasaan Belanda. Adanya taktik ini membuat TNI dan rakyat yang bersatu dan kemudian berhasil menguasai keadaan dan medan pertempuran.
Puncak Peristiwa Agresi Militer Belanda II membuat situasi Yogyakarta sangat tidak kondusif. Apalagi adanya propaganda Belanda di dunia luar bahwa tentara Indonesia sudah tidak ada. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai raja Keraton Yogyakarta Hadiningrat mengirimkan surat kepada Jenderal Sudirman untuk meminta izin diadakan serangan.
Serangan Umum 1 Maret 1949 Mendunia Setelah perancanaan yang matang, 1 Maret 1949 pagi hari, serangan besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Fokus utama penyerangan di ibu kota Indonesia, Yogyakarta.
Pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB, sewaktu sirine dibunyikan serangan dilakukan di segala penjuru kota. Dari sektor sebelah barat sampai batas Malioboro dipimpin Letkol Soeharto. Di sektor timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur oleh Mayor Sardjono. Di sektor utara dipimpin Mayor Kusno. Sementara di sektor kota dipimpin Letnan Amir Murtopo dan Letnan Masduki. Pasukan Indonesia berhasil menguasai Kota Yogyakarta selama 6 jam. Peristiwa tersebut dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret.
Bacaan Lainnya
- Urutan Pangkat Militer Indonesia – Tentara Nasional Indonesia
- 10 Cara Kerja Cerdas Untuk Menjadi Lebih Produktif Dan Pekerjaan Menjadi Cepat Selesai
- Jakarta Ibu Kota Indonesia – Lahir Pada Tanggal 22 Juni 1527
- Sistem Politik di Dunia | Bentuk Pemerintahan
- 10 Kebiasaan Baik Yang Dapat Mengasah Otak Menjadi Lebih Efektif
- Top 10 Cara Menjadi Kaya Dan Sudah Terbukti Nyata
- Tes Ketelitian: Semua Penguin Identik Kecuali 1 – Beserta Fakta Tentang Penguin: Spesies & Habitat
- Jarak Matahari Ke Bumi Yang Paling Tepat Adalah 149.597.870.700 Meter
- Arti Mimpi ~ Tafsir, Definisi, Penjelasan Mimpi Secara Psikologi
- Tempat Wisata Yang Harus Dikunjungi Di Jakarta – Top 10 Obyek Wisata Yang Harus Anda Kunjungi
Sumber bacaan: Jstor, Cambridge
Pinter Pandai “Bersama-Sama Berbagi Ilmu”
Quiz | Matematika | IPA | Geografi & Sejarah | Info Unik | Lainnya | Business & Marketing